Author's note:
Sebenarnya berniat nulis cerita tentang Jet atau Q, tapi yang namanya ide kadang datangnya nggak terduga (alibi banget). Masih bergumul soal plot kakak beradik itu karena cerita mereka mengandung unsur fantasi ringan, jadi daripada blog ini nggak nambah-nambah... saya seling dengan cerita tentang One. #terusblushingtakjelas

Happy reading! Semoga suka dengan kisah One dan Ye Rin~
Oh, ya... cerita ini adalah potongan novel. ^^






Kisah ini terjadi dua bulan sebelum debut O2.



(ONE's PoV)

Sejak bangun tidur pagi itu One sudah merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Kepalanya terasa berat dan seluruh persendiannya pegal. Ketika ia mengukur suhu tubuhnya, ia pun tidak terkejut mendapati bahwa suhu tubuhnya dua derajat lebih tinggi dari suhu normal. Tenggorokannya terasa kering dan hal yang ingin ia lakukan hanyalah kembali berbaring dan tidur seharian.

Tapi sayangnya, ia tidak punya waktu untuk itu. Begitu ia melangkah keluar dari kamar mandi, Manajer Jo sudah berdiri di depannya.

"One, jangan lupa pagi ini kau ada janji latihan dengan Jun Bin-ssi," kata Manajer Jo tanpa memandang ke arahnya. Manajernya sibuk membaca daftar aktivitas yang harus dilakukan oleh O2 hari ini.

"Ya, aku ingat, Hyeong," ujar One lirih.


Mendengar suara serak One, Manajer Jo pun mengangkat kepala dan menatapnya dengan kening berkerut. "Suaramu kenapa?" tanya pria muda itu khawatir. "Wajahmu agak pucat. Apa kau sakit, In Ho-ya?"

One menepis tangan Manajer Jo sebelum menyentuh keningnya. Pemuda itu menggelengkan kepala. "Aku tidak apa-apa, Hyeong."

"Kau yakin?" desak Manajer Jo seraya meletakkan tangannya di pundak One. "Kau tidak perlu latihan kalau memang tidak enak badan."

"Aku yakin. Hyeong tenang saja," ujar One berusaha menyunggingkan senyum pada manajernya itu.

"Oke. Sementara kau latihan nanti, aku dan Manajer Yang harus mengantar member yang lain untuk pemotretan ulang," kata Manajer Jo menjelaskan. "Mungkin kami baru kembali sekitar pukul 3." One menganggukkan kepala pelan. "Jam 4 nanti stylist O2 yang baru akan datang, jadi usahakan kau sudah ada di sini sebelum itu. Jaga-jaga kalau kami pulang terlambat. Oke?"

One mengangguk lagi. Benar-benar pelan kali ini karena pandangannya terasa sedikit bergoyang. Ia berharap Manajer Jo tidak menyadari ketika ia diam-diam menyandarkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.

"Nama stylist baru itu Lee Ye Rin, dan asistennya Moon Dae Hwa."

One menundukkan kepala dan memejamkan mata kuat-kuat. Biasanya hal itu bisa membantunya mengusir rasa pusing.

"In Ho-ya? Kau yakin tidak apa-apa?" tanya Manajer Jo lagi dengan tatapan curiga.

"Iya, Hyeong." One segera berpura-pura menguap dan terlihat mengantuk. "Aku... hanya masih belum benar-benar bangun."

Manajer Jo masih menatapnya, seakan tidak mempercayai ucapan One. Tapi pria muda itu kemudian menyerah dan berkata, "Baiklah. Kalau begitu cepat bersiap-siap. Jun Bin-ssi sebentar lagi datang menjemputmu."




Menari bukan keahliannya. Itu sebabnya One selalu tertinggal dari member O2 yang lain. Gerakan tubuhnya kaku, dan terlihat canggung sekali menarikan koreografi tari yang diciptakan Jun Bin tersebut untuk lagu debut mereka. One harus berlatih dua kali lebih keras daripada yang lain. Ia harus meluangkan waktu lebih banyak, tak jarang ia terpaksa melewatkan begitu saja waktu untuk makan siang dan juga makan malam. Ketika yang lain sudah kembali ke apartemen, ia masih tinggal di studio bersama Jun Bin.

"One! Kalau begini terus kau tidak akan bisa mengejar yang lain!" seru Jun Bin seraya mematikan musik yang sejak tadi memenuhi ruangan.

"Maaf...," ujar One terengah-engah. Keringat menetes-netes dari tubuhnya, membasahi lantai dan menciptakan genangan kecil. "Maaf, Hyeong." One membungkuk dalam-dalam, kedua tangannya bertumpu di lutut yang tertekuk. Tubuhnya terasa terpanggang dari dalam, tapi pemuda itu tidak mengeluh. Ia merasa bersalah jika karena dirinya debut O2 terpaksa ditunda. Dan ia juga tidak enak hati pada Jun Bin yang sudah meluangkan waktu untuk melatih dirinya secara khusus. "Se... sekali lagi, Hyeong...."

Jun Bin mendengus dan menyalakan kembali musik dari iPodnya. "Kali ini lakukan yang benar! Konsentrasi! Jangan ketinggalan temponya!"

One menganggukkan kepala, mengabaikan rasa sakit yang makin menjadi-jadi. Ia menarik napas dalam-dalam, menegakkan tubuh dan menatap lurus ke cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya dan Jun Bin. Ia berusaha berkonsentrasi mendengarkan musik, menangkap temponya, menyamakan hentakan musik dengan gerak tangan serta kakinya.

Ayo, Cho In Ho... kau bisa melakukannya.Setelah ini kau bisa istirahat dan bergelung dalam selimut yang hangat.

"ONE! FOKUS! Kau mulai ketinggalan!" hardik Jun Bin.

Tapi suara koreografernya itu terasa jauh. One menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia kembali berusaha memperbaiki langkahnya.

Dan suara musik berhenti.

"Kau masih ketinggalan di beberapa bagian," kata Jun Bin. "Tapi sudah jauh lebih baik. Istirahat dulu sebentar baru kita latihan la--YA! Kau kenapa, One?!"

Tiba-tiba saja ia diserang rasa mual. One menutup mulutnya dan segera berlari keluar dari studio menuju ke toilet terdekat. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya yang nyaris tidak berisi apa-apa selain air putih. Lalu kedua lututnya melemas hingga ia terduduk bersandar pada toilet tersebut seperti orang mabuk. Samar, ia mendengar suara pintu toilet dibuka paksa.

"Ya, ampun. One, kau kenapa?"

Suara Jun Bin terdengar panik. Ia tidak bisa melihat wajah koreografernya itu karena matanya terpejam. Tapi ia bisa merasakan tangan Jun Bin memegang keningnya. Kali ini One tidak punya tenaga untuk menepis tangan itu.

"Demammu tinggi sekali. Sejak kapan, One?" tanya Jun Bin sambil berusaha mengangkat tubuhnya. "Kenapa tidak bilang?"

"Aku tak apa...," ujarnya dengan suara yang sama sekali tidak meyakinkan. Ia berusaha berdiri tegak dan melepaskan tangan Jun Bin. Namun tubuhnya malah limbung hingga Jun Bin memeganginya lagi.

"Keadaanmu parah begini masih bilang tak apa-apa? Kau cari mati, ya?!"

Jun Bin melingkarkan tangannya di pinggang One, sementara sebelah tangan One kini melingkar di pundak Jun Bin.

"Pelankan suaramu, Hyeong... kepalaku berdengung."

"Aigoo... kalau terjadi sesuatu padamu, bisa-bisa aku yang disalahkan," gerutu Jun Bin. "Kuantar kau pulang ke apartemen sekarang."

"Tapi...."

"Tidak ada tapi. Latihan bisa kita lanjutkan setelah kau sembuh," kata Jun Bin tegas ketika mereka sudah berada dalam studio lagi, dan ia duduk di lantai studio. Jun Bin memberikan handuk dan sebotol air dingin padanya. "Apa ada orang di apartemenmu? Atau perlu kutelepon manajermu?"

"Jangan. Member yang lain sedang sibuk sekarang," ujar One serak. Ia menyeka keringat yang mengucur deras di tubuhnya lalu mengganti kaosnya yang basah kuyup dengan sweater kering dalam tasnya.

"Kau tak apa-apa sendirian di apartemen dengan keadaan begitu?" Jun Bin mengangkat tas One dan mengulurkan tangan membantu pemuda berkacamata itu berdiri.

"Tak masalah. Aku hanya perlu tidur."

"Begitu? Baiklah. Pastikan kau istirahat yang cukup."

"Ya. Terima kasih, Hyeong."






(Ye Rin's PoV)

"Ya! Moon Dae Hwa!" 

Lee Ye Rin mendesah lega ketika asistennya itu akhirnya mengangkat telepon setelah lima kali ia mencoba menghubunginya. Gadis itu terus melangkah secepat yang ia bisa dengan barang bawaan yang memenuhi tangannya. Di tangan kanannya ia membawa sebuah tas besar berisi rancangan kostum-kostum panggung untuk O2, tangan kirinya membawa tas berisi aneka aksesoris yang akan ia cocokkan dengan masing-masing member, di bahunya sebuah tas selempang berisi barang-barang pribadinya menggantung manis dan berayun-ayun mengikuti ritme langkahnya, sebuah buku sketsa terjepit di ketiak kirinya, dan terakhir kepalanya terpaksa miring ke kanan menahan ponsel di pundaknya. Wajahnya terlihat panik.

"Kau ada di mana?!" ujarnya keras ketika mendengar lawan bicaranya menyapa dengan sangat santai. "Apa kau lupa kalau hari ini kita banyak pekerjaan?!" Tiba-tiba kedua mata Ye Rin terbelalak dan nada bicaranya jadi semakin tinggi. "Apa?! Kau tidak bisa datang?! Kau harus pulang ke Busan?!" 

Ye Rin memutar mata, ia benar-benar kesal bukan kepalang. Bukannya ia tidak bisa memahami jika asistennya itu punya keperluan mendesak, tapi kenapa waktunya harus begitu tidak tepat? Ini adalah pekerjaan pertamanya di Harmonia Entertainment, dan ia tidak ingin mengacaukan kesempatan emas yang tidak akan datang dua kali ini. Seharusnya bukan ia yang menjadi stylist O2, tapi karena stylist yang sebenarnya tiba-tiba mendapat pekerjaan lain yang barangkali lebih menggiurkan, Ye Rin pun dipilih.

Dan ia hanya punya dua bulan! Dua bulan untuk menyiapkan kostum-kostum debut O2! Dua bulan yang akan menjadi dua bulan terpadat sepanjang hidupnya.

"Seharusnya kau bilang padaku lebih cepat jadi aku bisa cari penggantimu!"

Tidak ada pilihan lain yang bisa Ye Rin ambil selain mengijinkan asistennya itu cuti di hari pertamanya bekerja. Ia menghentikan langkahnya sejenak untuk memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang. Ia menengadah, menatap gedung apartemen yang menjulang di hadapannya lalu mendesah. Para member O2 tinggal di apartemen tersebut. Bukan apartemen mewah, namun itu hal yang wajar mengingat O2 baru akan debut dua bulan ke depan.

"Lee Ye Rin, kau bisa menangani mereka sendiri," ujarnya berusaha menyemangati diri lalu melangkah masuk ke dalam apartemen. Ia tidak boleh membiarkan emosinya merusak hari sepenting ini. Ia harus memberikan kesan pertama yang baik pada member O2.

Gadis itu setengah berlari menuju lift yang pintunya baru saja terbuka. Lift itu kosong dan hal itu membuatnya lega. Ditekannya angka 10 dan ia menarik napas dalam-dalam ketika pintu lift perlahan menutup. Jujur saja, ia sangat tegang. Semalam ia tidak bisa tidur sama sekali. Akhirnya ia menghabiskan jam tidurnya untuk melihat-lihat referensi kostum idola-idola lain.

"Tenang, semuanya akan baik-baik saja," gumamnya pelan.

Ketika lift berhenti, sekali lagi ia menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Ia mengingat-ingat nomor apartemen O2.

"10... 2 atau  103?" Ia mengambil catatan kecil dalam sakunya dan membaca nomor yang tertulis di sana. "Ah, 103."

Ye Rin menyusuri lorong lantai 10 dan tertegun ketika mendapati di depan pintu apartemen yang ditujunya tergeletak seorang pemuda. Ia mendekati pemuda itu dengan langkah mengendap-endap. Wajah pemuda itu tidak jelas terlihat karena tertutupi oleh poninya yang panjang. Rambutnya berwarna pirang kecoklatan, perpaduan yang seimbang antara coklat dan emas. Pemuda itu mengenakan sweater hoodie berwarna putih dan celana jeans. Kakinya panjang sekali, pikir Ye Rin yang tanpa sadar mengagumi postur tubuh si pemuda.

Tapi kenapa dia tidur di depan pintu? Apa dia mabuk? 

Ye Rin menelan ludah, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jadi ia meletakkan semua barang bawaannya dan berjongkok untuk melihat apakah pemuda itu adalah salah satu member O2 atau bukan, sekaligus memeriksa keadaannya.

Ia merapatkan bibirnya, dengan ragu-ragu mengulurkan tangan untuk menyibak rambut yang menutupi wajah si pemuda. Astaga, bagaimana kalau ternyata pemuda itu bukannya mabuk tapi sudah mati?

"...."

Bisa-bisa ia yang dituduh, kan?

Ye Rin menarik lagi tangannya. Diamatinya tubuh pemuda itu baik-baik. Betapa leganya ia ketika menyadari bahwa si pemuda masih bernapas. Sekali lagi ia mengulurkan tangan. Alih-alih menyibak rambut si pemuda yang berbaring miring, Ye Rin mendorong pundaknya hingga tubuh si pemuda sekarang terlentang.

Dan Ye Rin kini bisa melihat wajahnya.

Kacamata berbingkai hitam tersangkut di sebelah telinga, miring menutupi wajah si pemuda. Ye Rin mengambil kacamata itu dan melipatnya rapi. Ia ingat bahwa satu-satunya member O2 yang berkacamata bernama Cho In Ho, atau One. Ye Rin sudah melihat foto si pemuda dan sama sekali tidak menyangka bahwa sosok asli One ternyata jauh lebih tampan daripada di foto. Sepuluh kali? Seratus kali? Entahlah. Yang jelas berkali-kali lipat lebih tampan hingga ia tidak bisa mengendalikan debaran jantungnya sendiri dan tidak sanggup mengalihkan pandangannya dari wajah pemuda itu. Ada sesuatu yang membuat Ye Rin terpesona dalam diri One, entah itu alisnya yang terbentuk indah atau hidungnya yang terpahat sempurna... atau bibir yang pasti akan membuatnya meleleh jika kedua sudutnya melengkungkan senyum.

Astaga... apa yang terjadi padanya? Jika dalam keadaan seperti itu saja One sudah membuat dirinya seperti kehilangan akal....

"Dingin...."

Mendengar erangan itu, Ye Rin pun segera tersadar dari khayalan gilanya.

One meringkuk dan menggigil. Namun kedua matanya masih terpejam.

Menyadari bahwa pemuda di hadapannya itu bukan tidur karena mabuk, Ye Rin pun meletakkan telapak tangannya di kening One.

"Omo... kau demam tinggi, One-ssi," ujar Ye Rin terperanjat.

Dengan panik, gadis itu berdiri dan menekan bel di samping pintu apartemen. Namun tidak ada yang menjawab. Sepertinya member yang lain belum kembali. Ia memang datang sedikit terlalu cepat dari seharusnya. Tapi ia sama sekali tidak mengira ia akan menghadapi hal seperti ini.

"One-ssi," panggil Ye Rin sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu. "Kau bawa kunci apartemenmu?"

One tidak menjawabnya. Pemuda itu sepertinya sudah tertidur lagi, kalau tidak pingsan. Ye Rin mendesah. Rasanya ia ingin menjerit frustrasi saja.

"Maaf, ya. Aku terpaksa melakukan ini," kata Ye Rin pada pemuda yang terlelap itu. "Bukannya aku senang, loh," ujarnya lagi dengan wajah memerah. Ia merogoh ke dalam saku sweater One, lalu menepuk-nepuk saku celana jeansnya, dan hasilnya nihil. "Jadi kau tidur di depan pintu karena tidak bawa kunci?" Ye Rin menatap pasrah pada pemuda itu seraya mengambil ponsel dari dalam tasnya. Sambil mencoba menghubungi manajer O2, Ye Rin melepas jaketnya sendiri dan menyelimuti tubuh One yang kedinginan.

"Yeoboseo? Jo Dae Min-ssi? Ini aku. Lee Ye Rin." Ia berusaha terdengar tenang. "Apa kalian sudah dekat apartemen?" Kening Ye Rin mengerut ketika manajer O2 itu berkata mereka masih dalam perjalanan ke Harmonia Entertainment dan terjebak macet total. "Ya, aku sudah bertemu dengan One. Tapi masalahnya... dia...." Ye Rin berhenti bicara ketika ia merasa seseorang menarik kemejanya. Ye Rin menoleh dan melihat One sedang menatapnya dengan mata separuh terbuka. Pemuda itu menggelengkan kepala dan entah bagaimana Ye Rin langsung mengerti bahwa pemuda itu tidak mau ia memberitahu manajer O2 bahwa pemuda itu sedang sakit.

"Dia tidak bawa kunci apartemen," ujar Ye Rin akhirnya. Ia melihat One mengucapkan terima kasih tanpa suara dan kembali memejamkan matanya. Pemuda itu terlihat parah sekali. Meski ragu apakah menuruti kemauan One adalah keputusan yang benar, Ye Rin tidak bilang apa-apa pada Jo Dae Min. "Oh, baiklah. Aku akan minta petugas apartemen membukakan pintunya. Maaf merepotkanmu, Jo Dae Min-ssi. Aku akan menunggu kalian pulang dan kurasa aku bisa mengecek lemari pakaian mereka dulu."

Ye Rin memasukkan lagi ponselnya ke dalam tas dan mengeluarkan sapu tangan. Digunakannya sapu tangan itu untuk menyeka keringat di wajah One.

"Kau tak apa-apa kalau kutinggal sebentar, One-ssi?" tanyanya cemas. "Aku mau meminta petugas apartemen membukakan pintu dengan kunci cadangan."

One mengangguk lemah.

Ye Rin tidak membuang-buang waktu. Dalam waktu kurang dari lima menit ia sudah kembali dengan seorang petugas, membawa obat darurat yang dibelinya dari mini market di depan apartemen, dan membaringkan One (dengan bantuan petugas yang sama tentu saja) di tempat tidurnya.

"Kau tahu... meski aku tidak bilang pada manajermu, dia akan tahu juga begitu dia pulang nanti," ujar Ye Rin ketika ia masuk kembali ke kamar One membawa handuk dan sebaskom air. Gadis itu kemudian duduk di pinggir tempat tidur One, meletakkan handuk basah di kening si pemuda dengan hati-hati.

"Kalau dia tahu sekarang, dia akan khawatir. Member lain juga," ujar One. Suaranya sangat serak namun cukup membuat Ye Rin terkejut karena suara pemuda itu sangat berat. Tidak sesuai dengan wajahnya yang bergaris lembut. "Manajer kami itu... gampang panik."

"Rupanya begitu." Ye Rin tanpa sadar menyunggingkan senyum lembut mendengar alasan One. "Untung saja aku datang lebih cepat dari janji. Kalau tidak entah bagaimana nasibmu."

"Thanks, Noona," ujar One. Pemuda itu menatap Ye Rin lekat-lekat seolah sedang mempelajari wajahnya.

Ditatap dengan kedua mata beriris gelap itu membuat dada Ye Rin berdesir sekali lagi. Sekalipun terlihat mengantuk dan lelah, Ye Rin tidak bisa menyangkal bahwa One adalah seorang pemuda yang mempesona. Meski usia One lebih muda darinya, perawakan si pemuda yang besar menyembunyikan hal itu.

Biasanya ia tidak salah tingkah begini di depan idola mana pun. Kenapa One berbeda?

"Kau sudah makan?" Ye Rin berusaha mengalihkan pikirannya dari pesona One. Yang terpenting sekarang adalah merawat pemuda yang sakit itu.

One menggelengkan kepalanya.

"Kubuatkan bubur, ya," ujar Ye Rin. "Kau tidur lagi saja dulu sekarang. Nanti kubangunkan kalau buburnya sudah matang." 

Gadis itu lalu berdiri dan cepat-cepat keluar dari kamar One menuju ke dapur kecil di satu sisi apartemen sempit itu. Ia tidak tahan berlama-lama di kamar itu tanpa tergoda untuk membelai rambut One, bahkan mungkin... berkhayal lebih dari itu.

Astaga, kalau bosnya tahu pikirannya sekotor ini... ia pasti bakal langsung dipecat. Jangan-jangan usianya yang baru dua puluh lima itu sudah terlalu tua untuk terus melajang?

Usia One bahkan belum genap dua puluh tahun, Lee Ye Rin! Dia terlalu muda untukmu!




Ye Rin berdiri diam di depan pintu kamar di mana One sedang beristirahat. Ia mengatur napasnya. Jantungnya masih berdebar tidak karuan. Aneh sekali, pikirnya. Biasanya hal seperti ini tidak terjadi padanya. Ye Rin termasuk dalam kategori orang-orang yang jarang menyukai lawan jenis hanya dari penampilan fisiknya saja. Hal tersebut sangat diperlukan untuk bisa sukses bekerja di dunia hiburan. Pria-pria tampan bertebaran di mana-mana. Kalau hatinya tidak kuat, bisa-bisa ia sudah meleleh setiap saat.

Sepasang matanya yang bulat kemudian memandangi seisi apartemen kecil itu. Berhadapan dengan pintu kamar yang menurutnya adalah kamar para member O2 adalah pintu lain yang serupa. Ye Rin hanya perlu sekali melangkah untuk meraih kenop pintu dan membukanya. Kamar itu luasnya hanya separuh dari kamar para member. Ada dua buah kasur diletakkan di lantai. Di lantai yang tidak tertutup kasur, terlihat tumpukan koper setengah terbuka. Di sisi lain penuh dengan kaos dan celana bekas pakai berceceran.

“Astaga... berantakan sekali,” ujarnya sambil berdecak. Ye Rin segera menutup kamar itu dan membuka satu pintu lain di sebelahnya.

Sesuai dugaan Ye Rin, kamar yang terakhir adalah kamar untuk menyimpan pakaian para member O2. Hampir saja ia melangkah masuk jika saja ia tidak ingat bahwa ia harus membuatkan makanan untuk One lebih dulu. Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di dalam kamar pakaian, Ye Rin pun segera melangkah ke dapur.

Hal pertama yang dicari Ye Rin adalah bahan-bahan makanan, tentu saja. Tapi ia harus menelan kekecewaan ketika ia tidak menemukan apa yang ia cari, melainkan tumpukan ramen instan aneka merk dan rasa.

“Pantas saja sampai jatuh sakit begitu!” omelnya sambil menutup kembali lemari berisi ramen tersebut. “Jangan-jangan mereka setiap hari hanya makan ramen?! Aigoo! Laki-laki memang tidak bisa dipercaya urusan seperti ini.”

Pada akhirnya, Ye Rin hanya menemukan dua butir telur di antara botol-botol minuman penambah energi di dalam lemari es. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Ia tidak mau menyajikan ramen instan untuk orang sakit.

“Semoga saja dia suka tim telur,” ujarnya memutuskan. Ia akan membuat telur itu menjadi makanan yang lembut dan mudah ditelan. Dan apa pun yang terjadi, ia akan memaksa One memakan masakannya. Suka atau pun tidak suka.

Ponsel Ye Rin tiba-tiba berdering. Untung saja saat itu ia sudah memasukkan adonan telur ke dalam panci pengukus. Ia hanya perlu menunggu masakannya matang dan menghidangkannya. Diambilnya ponsel yang ia letakkan di atas meja. Rupaya yang meneleponnya adalah Manajer Jo. Ye Rin pun menyentuhkan jarinya di layar ponsel dan menggesernya ke kanan—menerima panggilan tersebut.

“Halo, Manajer Jo?”

“Ye Rin-ssi, bagaimana keadaan One?”

“Eh? Kau tahu kalau dia....”

“Ya. Sebenarnya sejak pagi tadi aku sudah curiga. Apa dia baik-baik saja?”

“Demamnya tinggi. Aku sedang membuatkan tim telur untuknya. Sepertinya dia sedang tidur sekarang.”

“Apa menurutmu dia perlu dibawa ke rumah sakit?”

“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur. Ini pertama kalinya Ye Rin mengurus orang sakit. Ia sudah bilang itu, kan? “Tapi kurasa tidak ada salahnya juga. Apa kalian sudah hampir sampai?” Ye Rin bertanya seraya menatap jam di tangannya. Meski keadaan seperti ini, ia tetap tidak bisa lupa dengan pekerjaan yang sebenarnya yang juga sangat mendesak.

“Ya. Sebentar lagi kami sampai. Maaf One sudah merepotkanmu, Ye Rin-ssi.”

“Tidak apa-apa, Manajer Jo. Oh, ya. Kalau kau sempat mampir ke mini market, tolong belikan susu pisang dan puding. One suka itu, kan? Dan kalau bisa... sekalian belanja bahan makanan. Tidak ada apa-apa di sini, Manajer Jo. One perlu makanan yang sehat.” Ramen instan tentu saja tidak termasuk, gerutu Ye Rin lagi dalam hati. Ia pun mematikan sambungan telepon setelah permintaannya disanggupi Manajer Jo dan segera menghampiri masakannya.

Tim telur buatan Ye Rin matang sempurna. Persis seperti yang sering dibuatkan ibunya, berwarna kuning pucat dan terlihat lembut pada permukaannya. Ia merasa bangga pada dirinya karena berhasil membuatnya tanpa hangus. Rasanya pun tidak terlalu jauh berbeda. One akan bisa memakannya dengan mudah. Ye Rin pun meletakkan mangkuk kecil berisi tim telur itu di atas nampan kayu yang ia temukan di salah satu laci beserta segelas air mineral.

Ye Rin pun segera berjalan menuju ke kamar, dengan sebelah tangan ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati One tengah meringkuk di kasurnya, dan mengerang kesakitan.

“One-ssi?!” seru Ye Rin sembari berlari mendekat ke kasur, meletakkan nampan di kasur di samping One dan memegang dahinya. “Kau kenapa? Ya, ampun... demammu makin tinggi!”

Gadis itu benar-benar panik sekarang. Ia pikir One akan membaik setelah beristirahat, namun ternyata sekarang keadaan pemuda itu malah semakin parah. Bulir-bulir keringat di pelipis One sebesar biji jagung, dan Ye Rin pun bisa merasakan bahwa itu bukan pertanda baik. Pemuda itu juga tidak menjawab pertanyaannya. Kedua mata One terpejam rapat seakan menahan sakit, dan bibir pucatnya sedikit terbuka. Kalau begini, bagaimana Ye Rin bisa menyuapinya makanan?

Apa boleh minum obatnya sebelum makan?

“One-ssi... apa kau bisa makan?”

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Ye Rin menelan ludah.

Handuk kecil yang telah jatuh di sisi bantal One diambilnya, kembali direndamnya ke dalam air di baskom dan dikompresnya lagi dahi One. Dengan sapu tangan miliknya, ia menyeka keringat One. Dalam hati terus mengucapkan doa supaya One membaik.

“Minum obat dulu, ya,” kata Ye Rin akhirnya. Itu akan lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. “Siapa tahu kondisimu membaik setelah minum obat.”

Tidak diduga, One menganggukkan kepalanya. Ye Rin pun segera membuka kemasan obat yang tadi dibelinya dan ia membantu One mengangkat kepalanya. Tablet berwarna putih itu pun ia masukkan ke dalam mulut One dan dibantunya pemuda itu meneguk air untuk menelan.

“Sekarang istirahatlah lagi,” ujar Ye Rin berusaha terdengar tenang. Ia tidak boleh panik di dekat orang sakit, kan? Paling tidak ia ingin membuat One merasa tenang. Setelah memastikan One berbaring dengan nyaman, Ye Rin berkata, “Aku keluar dulu... kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamar pakaian kalian.”

Samar-samar, Ye Rin mendengar suara kunci pintu depan dibuka. Mereka sudah pulang, pikirnya lega. Namun ketika ia hendak berdiri, One tiba-tiba menggenggam erat pergelangan tangan dan menariknya. Ia terlalu terkejut untuk bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia pasrah saat tubuhnya jatuh di atas tubuh One. Dan tanpa bisa menghindar, bibirnya bersentuhan dengan bibir pemuda itu.

Kalau ini drama, Ye Rin sudah menjadi orang pertama yang tertawa. Tapi ketika hal yang sama terjadi pada dirinya, ia hanya bisa terperangah dengan mata terbelalak.

Lalu pintu kamar terbuka.

Ye Rin tidak bisa mencegah apa pun yang mungkin sedang timbul di kepala tiga orang yang kini sedang menatapnya.

“Ah... k-kalian sudah kembali....”

Lalu tiga kepala lagi ikut menyembul dari belakang yang tiga. Mereka semua mematung dengan mulut terbuka. Sangat komikal.

Wajah Ye Rin merah padam, sementara One malah menatapnya dengan mata separuh terbuka seakan masih tidak mengerti apa yang baru saja terjadi pada mereka. Duh.