"Debut kalian tinggal satu minggu lagi!" seru Manajer Yang sambil menepuk tangannya kuat-kuat agar para member O2 yang tengah tertidur di lantai ruang latihan bangun dan mendengarnya. "Aku tahu kalian semua capek, tapi bukankah kalian ingin memberikan yang terbaik untuk O2?" Manajer Yang menghampiri Jet dan mengulurkan tangan membantu pemuda itu berdiri. "Panggung pertama kalian ini akan jadi penentu, kesan pertama yang akan didapatkan oleh penonton dan penggemar kalian!"

Satu per satu member pun berkumpul mengelilingi Manajer Yang. Meski wajah mereka terlihat lelah dan mengantuk, ekspresi dan binar mata mereka berkata lain. Terutama Tae yang dengan penuh semangat bertanya pada Manajer Yang, "O2 benar-benar sudah punya penggemar, hyung? Benar?"

"Tentu saja benar," seru Manajer Jo yang baru saja masuk ke ruang latihan membawa dua bungkusan plastik besar. "Netizen menyukai teaser-teaser yang sudah dipublikasi di internet sejak awal bulan lalu. Dan rating acara reality show kalian pun cukup tinggi. Memangnya kalian tidak memantau komentar-komentar mereka?" Manajer Jo melirik ke arah One yang paling pandai dalam grup itu.

"Aku sudah melihatnya," ujar One tersenyum kasual. Pemuda berkacamata itu lalu menyodorkan Note 2nya pada Tae. "Nih, kau lihat komentar yang ini," tunjuknya pada salah satu komentar di video teaser lead dancer O2 itu.

"Tae oppa! Kau membuat hatiku meleleh! Dance yang sangat keren! Good luck untuk debutmu!" Tae membaca komentar itu sambil tersenyum lebar. Dengan bersemangat ia membaca komentar-komentar lain dan mulai sibuk tertawa sendiri. Lupa bahwa ponsel di tangannya itu milik orang lain. Pemuda ceria itu melompat-lompat menghampiri dua member termuda O2. "Q! Jet! Dia bilang hyungmu ini ganteng!"

Manajer Jo geleng-geleng kepala melihat kehebohan Tae lalu menatap member yang lain satu per satu. "Kalian makanlah dulu," katanya sambil mengangkat bungkusan yang dibawanya. Pria muda itu menghampiri meja di sisi ruangan dan bersama dengan Manajer Yang membagikan kotak makanan pada kelima member O2.

"Setelah selesai makan, siap-siap untuk latihan lagi sebelum kalian boleh pulang dan beristirahat," ujar Manajer Yang tegas. Saat ia menyerahkan kotak makanan terakhir pada leader O2, ia teringat sesuatu dan bertanya, "Oh, ya. Kwang Jo-ya, kau sudah selesaikan urusanmu yang itu, kan?"

K.J. menerima kotak makanan yang disodorkan Manajer Yang padanya. Wajah pemuda yang dipercaya menjadi leader O2 itu terlihat menegang. Urusan yang baru saja ditanyakan oleh manajernya itu adalah tentang hubungannya dengan Seo Ah Rim, salah satu trainee di Harmonia Entertainment. Menurut direktur HE, sebaiknya seluruh member bersih dari hubungan percintaan agar bisa fokus pada pekerjaan sekaligus menghindari kemungkinan munculnya skandal yang bisa mengacaukan debut O2.

"Belum," ujar K.J. pelan. "Rencananya aku akan membicarakannya malam ini dengan dia."

Manajer Yang memegang pundak K.J. dan menepuk-nepuknya memberi simpati. "Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu. Tapi kau tahu posisimu dalam grup ini, kan? Kau harus bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk O2."

K.J. menganggukkan kepala dan tersenyum tipis. "Aku mengerti, hyung," ujarnya.

"Bagus. Aku percaya padamu," ujar Manajer Yang lalu meninggalkan K.J. yang masih berdiri diam dengan kepala tertunduk.

Entah bagaimana ia harus menyampaikan berita ini pada Ah Rim nanti. Memikirkannya saja sudah membuat hatinya sakit luar biasa. Ia pun duduk bersandar di tempat yang terpisah dari yang lain, mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan pada gadis yang dicintainya itu. Selera makannya lenyap. Kotak makanan miliknya yang sama sekali tidak tersentuh itu kembali ia letakkan di atas meja dan ia berjalan keluar dari ruang latihan yang makin terasa pengap.




Rasanya sudah lama sekali Ah Rim tidak benar-benar bisa mengobrol dengan Kwang Jo. Sejak pemuda itu diputuskan untuk debut dalam grup bernama O2, intesitas pertemuan mereka berkurang drastis. Bahkan sudah dua bulan Ah Rim tidak melihat sosoknya. Meski Kwang Jo tetap rutin mengiriminya pesan setiap pagi dan malam, Ah Rim tetap merasa tidak puas. Ia ingin memeluk tubuh Kwang Joo yang tinggi dan bidang itu. Ia ingin menciumi aroma tubuh Kwang Jo yang maskulin, tidak hanya lewat sebotol aftershave yang sengaja dibelinya untuk mengobati rasa rindu itu.

Ah Rim tahu, persiapan debut memang memakan waktu dan menuntut kerja keras. Kwang Jo pasti sudah kelelahan tiap kali rutinitas hariannya selesai hingga mereka jarang sekali bisa berbincang di telepon sekalipun. Sejujurnya, Ah Rim merasa cemas. Ia merasa... akan kehilangan Kwang Jo.

Kwang Jo jadi semakin jauh. Dunia mereka terasa berubah total hanya karena satu kata--debut.

Ketika Ah Rim mengulangi video teaser Kwang Jo untuk kesekian kalinya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.

Dari Kwang Jo.


"Aku akan mampir ke rumahmu malam ini seusai latihan. Tunggu aku."


Ah Rim merapatkan bibirnya kuat-kuat. Hatinya terasa tak karuan. Seharusnya ia senang akhirnya bisa bertemu muka lagi dengan pemuda yang dicintainya itu. Tapi kenapa rasa takut yang tiba-tiba muncul menjadi jauh lebih besar hingga ia tidak sanggup tersenyum saat membalas pesan itu?




Badannya terasa akan remuk setiap saat begitu latihan berakhir. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. Sekujur tubuhnya basah dan napasnya terengah. K.J. menatap jam dinding, sudah jam sebelas malam. Kepalanya terasa ringan karena ia melewatkan makan malam, namun ia benar-benar tidak berselera.

"Kwang Jo-ya, kau baik-baik saja?"

K.J. menoleh ke arah suara berat itu dan mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja," ujarnya pada One yang menatapnya dengan pandangan khawatir. One adalah teman dekatnya sejak mereka masih berstatus trainee. Hanya One yang tahu hubungannya dengan Ah Rim, dan hanya One juga yang tahu kenapa K.J. tidak bisa fokus pada latihannya hari ini.

One mengangguk dan menepuk pundak K.J. pelan. "Keputusanmu sudah tepat, Kwang Jo-ya," kata pemuda berkacamata itu lagi. "Kau akan jadi contoh untuk member yang lain. Mereka akan berterimakasih padamu."

Tapi aku tak ingin menjadi contoh dan menerima terimakasih mereka, In Ho-ya.

"Aku tahu." K.J. tersenyum miring. Matanya terasa panas saat mengatakannya. Ia menutupinya dengan menyibukkan diri mengganti pakaiannya. "Aku akan melakukan apa pun untuk O2. Apa pun."

Termasuk berpisah dengan Ah Rim.

"Aku tidak tahu apakah yang akan kukatakan ini bisa sedikit meringankan perasaanmu atau tidak," ujar One pelan. "Tapi bukan hanya kau sendiri yang mengalami ini."

K.J. mengerutkan kening. "Maksudmu?"

One menatap K.J. dan berkata, "Joon Kyu. Dia juga diminta untuk putus dengan pacarnya."

"Tapi pacar Joon Kyu kan...."

"Orang biasa." One menyelesaikan ucapan K.J. "Tapi mereka menilai itu pun bisa menimbulkan skandal jika Joon Kyu tidak berhati-hati."

"Apa dia sudah... kau tahu...."

One menganggukkan kepalanya. "Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi seharian ini Joon Kyu sama sekali tidak bicara."

K.J. benar-benar tidak tahu. Hari ini ia benar-benar hanya memikirkan dirinya dan Ah Rim. Ia tidak bertindak sebagaimana seharusnya seorang leader bertindak dan ia merasa menyesal. Ini pertama kalinya ia merasa perintah Direktur HE ada benarnya. Ironis. K.J. menghela napas dan membereskan tas miliknya. Ia memberi isyarat pada One untuk keluar dari gedung HE menuju ke mobil perusahaan yang sudah menunggu mereka.

"Terima kasih sudah memberitahuku soal Joon Kyu," bisiknya pada One sebelum mereka berdua bergabung di dalam mobil dengan member yang lain.




Ah Rim gelisah. Benar-benar gelisah.

Entah sudah berapa kali gadis itu mengintip ke luar jendela, menantikan sosok Kwang Jo muncul di depan rumahnya. Jantung Ah Rim berdegup kencang, dadanya terasa seperti terhimpit dari dalam, membuatnya sulit bernapas.

Sekalipun ingin menyangkal, sebenarnya Ah Rim sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan Kwang Jo dengannya. Ada peraturan tak tertulis yang sudah diketahui oleh semua trainee HE. Peraturan yang melarang artis-artis HE untuk berpacaran, terutama menjelang debut. Biasanya larangan itu baru akan dilupakan beberapa tahun kemudian, setelah karir artis yang bersangkutan sudah bisa dianggap stabil hingga isu pacaran tidak akan lagi menjadi skandal yang bisa menjatuhkan popularitasnya.

Sayangnya, tidak banyak pasangan yang kembali bersama lagi setelah masa itu berakhir.

Tapi Ah Rim berharap dugaannya salah. Semoga untuk kali ini akan ada pengecualian.

Ah Rim menghela napas, sekali lagi mengintip ke luar dan kali ini ia melihat sosok pemuda itu di luar sana mendongak ke arahnya dan melambaikan tangan. Senyum tipis tergurat di wajah yang lelah itu, membuat harapan Ah Rim jadi semakin besar. Ia pun berlari ke luar dari kamarnya, membukakan pintu untuk Kwang Jo yang begitu dirindukannya.

Tidak perlu waktu lama untuk mendapati dirinya berada dalam rengkuhan hangat pelukan pemuda itu. Ia bisa merasakan ujung hidung Kwang Jo mendarat lembut di puncak kepalanya, seakan sedang menghirup aroma rambutnya dalam-dalam. Ah Rim merasa dicintai tiap kali Kwang Jo melakukan itu padanya, ia pun mengeratkan pelukannya di pinggang pemuda itu. Enggan melepaskan.

"Akhirnya aku bisa memelukmu," ujar Kwang Jo dengan suara beratnya.

Pemuda itu menyentuh dagu Ah Rim dan membuat gadis itu mendongak menatap matanya. Kwang Jo pun menghadiahi sebuah kecupan di kening Ah Rim, di ujung hidung Ah Rim yang lancip, di kedua belah pipi Ah Rim yang merona, dan terakhir mengulum bibir ranumnya. Ah Rim memejamkan kedua matanya, membalas ciuman pemuda itu dengan lembut. Mereka tidak terburu-buru. Keduanya seolah sama-sama tahu betapa waktu mereka saat itu terlalu berharga untuk disia-siakan.

Ketika kedua tangan Ah Rim menangkup kedua belah pipi Kwang Jo, gadis itu merasakan sesuatu yang membuatnya segera membuka mata. Ibu jarinya menyentuh sesuatu yang membasahi pipi pemuda itu. Matanya melihat kedua mata Kwang Jo memerah dan basah.

"Jangan menangis...," bisik Ah Rim pilu. Diusapnya air mata pemuda itu dan kedua tangannya kini melingkar di leher Kwang Jo. "Jangan menangis, jagiya...."

Tidak perlu penjelasan, Ah Rim tahu dugaannya benar dan harapannya semu. Kedatangan Kwang Jo memang untuk mengakhiri semua yang ada di antara mereka. Hati Ah Rim sakit luar biasa, namun melihat air mata Kwang Jo membuatnya merasa harus bersikap lebih tegar. Demi Kwang Jo.

"Semua akan baik-baik saja," bisiknya menenangkan pemuda yang kini menangis di pundaknya itu. Sebelah tangannya mengusap-usap punggung Kwang Jo, sementara tangannya yang lain membelai-belai rambut lembut yang beraroma keringat itu. "Ini tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang akan diraih O2 nanti." Ah Rim berusaha tersenyum. "Kau akan jadi leader dari grup idola yang paling terkenal di Korea." Tapi ia tidak bisa menahan air matanya mengalir pada akhirnya. "Kau... akan terkenal bahkan sampai ke luar negeri...."

"Apa tidak ada pilihan lain untuk kita, Ah Rim-ah?" Suara serak Kwang Jo membuat Ah Rim nyaris runtuh. Kalau saja bisa, ia pun tidak mau berpisah dari pemuda itu.

"Kwang Jo-ya... bukankah kau sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk berjuang mendapatkan kesempatan ini?" Ah Rim mendorong tubuh Kwang Jo agar ia bisa menatap wajah pemuda itu. "Kau juga sudah bekerja keras untuk debutmu... untuk O2." Ah Rim membelai pipi Kwang Jo, dan membiarkan Kwang Jo melakukan yang sama padanya. "Jangan sia-siakan setelah kau mendapatkannya. Kau bodoh kalau melakukan itu."

"Tapi bagaimana denganmu?"

Ah Rim memaksakan dirinya tersenyum.

"Aku akan baik-baik saja. Aku ingin melihat O2 berada di puncak, aku ingin melihatmu bersinar, Kwang Jo-ya."

Dan aku memilih pergi jika keberadaanku bisa menghalangi sinarmu.

"Berjanjilah kau akan jadi leader yang baik untuk O2," kata Ah Rim lagi. "Tunjukkan padaku bahwa perpisahan kita..." Ah Rim tercekat sejenak setelah mengucapkan kata itu. Semuanya menjadi semakin nyata. Bahwa ia benar-benar akan kehilangan Kwang Jo. Kwang Jo-nya. "...tidak sia-sia."

Kwang Jo tidak menjawab. Pemuda itu kembali merengkuh tubuh Ah Rim erat dan bibir mereka kembali berpagutan, mengirimkan segala emosi dan keinginan yang tidak bisa lagi mereka ucapkan.

"Aku janji," ujar Kwang Jo kemudian.

Ah Rim dengan berat hati melepaskan diri dari pelukan Kwang Jo. Ia tak tahu apakah setelah ini ia akan baik-baik saja. Ia pasti akan merindukan sentuhan pemuda itu setengah mati.

"Pulanglah," kata Ah Rim berusaha terlihat tenang. "Kau perlu istirahat. Wajahmu tidak terlihat sehat. Kau tidak boleh jatuh sakit, Kwang Jo-ssi."

Memanggil pemuda itu dengan sapaan formal terasa janggal baginya. Tapi ia tak punya pilihan lain.

"Jaga dirimu... Ah Rim-ssi," balas Kwang Jo dengan ekspresi yang membuat Ah Rim harus menahan diri untuk tidak memeluknya lagi.

"Selamat untuk debutmu."

Ah Rim mengantar Kwang Jo keluar dan ia baru masuk kembali ke rumah setelah sosok pemuda itu hilang dari pandangannya. Ia berlari masuk ke dalam kamar, dan mengunci pintunya. Lalu ia terduduk bersandar di pintu. Sambil memeluk kedua lututnya, tangis yang terus ia tahan itu pun akhirnya pecah.

Annyeong, Kwang Jo-ya... annyeong.